Senin, 10 Oktober 2011

Aku, Hujan, dan Sabtu

                   Hari ini akan menjadi hari yang sangat melelahkan, pikirku. Baru saja memulai kegiatan hari ini, aku sudah dihujani rentetan peristiwa menyebalkan. Seharusnya saat ini aku sudah berada di dalam kereta yang baru saja berangkat semenit yang lalu. Ah, kalau saja kecerobohanku tidak datang secepat hujan turun pagi ini. Ya, akibat kebodohanku itu, aku meninggalkan 'belahan jiwaku' (baca: flashdisk) di rumah. Maka, mau tidak mau terpaksa aku harus kembali ke rumah untuk mengambil 'belahan jiwa'-ku tersebut karena di dalamnya terdapat tugas-tugas penting yang harus dikumpulkan hari ini juga. Namun betapa dongkolnya aku, saat tiba di stasiun, kereta yang biasanya kunaiki telah berangkat selang semenit sebelum aku tiba. Menurut jadwal yang diumumkan oleh petugas Stasiun Bogor, sehubungan dengan adanya masalah teknis, jadwal kereta berikutnya baru akan diberangkatkan pukul 06.30 WIB. 
              Aku melirik jam tanganku, saat ini baru pukul 05.35 WIB kataku dalam hati. Itu berarti aku terpaksa harus menunggu selama kurang lebih satu jam hingga ada kereta berikutnya yang siap berangkat. Aku menarik napas panjang, mencari tempat duduk yang nyaman, lalu menghempaskan diriku di sana, mencoba melupakan kesialanku pagi ini.
                  Selang beberapa menit kemudian, seakan tak puas mencurahkan rintik-rintiknya saat subuh tadi, hujan pun mulai turun kembali. Bukan Bogor namanya jika tidak turun hujan barang sehari saja. Jika hujan tidak turun pada pagi hari, pasti hujan akan turun pada siang, sore, atau malam harinya. Sebab itulah maka aku selalu sedia payung dalam tasku, sekedar untuk berjaga-jaga. Hujan kali ini sepertinya tidak terlalu deras, namun telah sukses membuat suasana stasiun tidak seramai biasanya. Maklumlah, berhubung hari ini adalah hari sabtu, mungkin itu juga penyebab mengapa stasiun ini jadi lebih sepi. Ah, kalau dosenku tidak menetapkan bahwa hari ini ada jadwal kuliah pengganti pun saat ini aku pasti masih meringkuk nyaman dalam buaian selimutku, bukannya terdampar di stasiun sepagi ini, pada akhir minggu, batinku. 
                 Aku menguap. Ternyata kantukku masih bersisa pagi ini. Mungkin gara-gara semalam aku harus ‘lembur’ untuk mengerjakan tugas. Rasanya aku hanya sempat tidur beberapa jam saja hanya demi menyelesaikan tugas yang sekarang ada dalam flashdisk ini. Untunglah saat ini aku mendapat tempat duduk yang cukup nyaman dan strategis. Setidaknya di stasiun ini tempat duduknya disediakan di bawah atap tinggi, sehingga dalam keadaan hujan seperti sekarang ini pun aku tetap terlindung dari hujan, sekaligus tetap bisa mengamati suasana sekitarku sambil sesekali melemaskan otot mata yang rasanya tegang sejak semalam.
            Stasiun Bogor pagi itu belum terlalu ramai. Aku hanya melihat beberapa calon penumpang yang bernasib sama sepertiku tadi – tertinggal kereta – yang juga tampaknya sedang menunggu kereta berikutnya di bangku-bangku yang tersedia di stasiun. Lalu, di sudut stasiun, dekat loket pembelian karcis, terlihat beberapa penjual koran eceran yang sedang menyusun koran-korannya untuk dijual nanti, saat stasiun sudah mulai ramai.
            Tak terasa, sudah sekitar lima belas menit aku duduk di bangku ini sambil memerhatikan suasana di stasiun. Yah, kalau mau jujur, sebenarnya aku sedang mencari sesuatu. Lebih tepatnya seseorang. Orang itu adalah pengamen yang biasa berkeliaran di stasiun ini. Setiap pagi aku memang sering melihat beberapa pengamen memainkan beberapa lagu untuk sekedar mengusir rasa bosan. Namun pengamen yang aku cari ini berbeda dengan pengamen lainnya. Saat pertama aku melihatnya, awalnya aku tidak menyangka bahwa ia adalah pengamen. Bayangkan saja, dengan usianya yang kira-kira tak berbeda jauh dengan usiaku saat ini – sekitar 20 tahun – dan postur tubuhnya yang tinggi seperti pemain basket profesional, juga kulitnya yang putih – tidak sawo matang seperti kulit orang Indonesia pada umumnya – yang mengingatkanku pada kulit bangsa Eropa atau Asia Timur, sepertinya orang itu lebih cocok menjadi aktor film terkenal atau model majalah remaja dibandingkan harus menenteng gitar lusuh dan mondar-mandir di stasiun dari pagi hingga petang.
            Namun terlepas dari gitarnya yang lusuh, kemampuannya memainkan gitar memang pantas diacungi jempol. Beberapa hari lalu aku sempat melihat seorang bapak memberinya uang Rp50.000,00 hanya karena bapak itu terpesona melihat permainan solo gitar klasik yang dimainkannya. Entah dari mana ia mempelajari teknik bermusiknya itu, yang pasti mulai saat itu aku jadi tertarik dengan setiap penampilannya di stasiun ini. Aku memang jarang memberinya uang sebagai tanda bahwa aku menghargai penampilannya – karena biasanya aku melihat penampilannya hanya dari kejauhan – namun aku tak pernah ketinggalan menontonnya setiap kali ia ‘beraksi’. Pagi ini pun aku tak mau ketinggalan penampilan perdananya. Aku mulai mengawasi setiap sudut stasiun, mengamati, dan mencari-cari sosok muda dan berbakat itu. Sepertinya aku sudah menjadi penggemar fanatiknya saat ini, walaupun hanya dari kejauhan.
            Aku sedang memerhatikan penjual makanan ringan yang bercakap-cakap dengan turis asing yang sedang menunggu kereta di dekat kios makanan ringan itu, saat aku mendengar suara yang sangat akrab di telingaku. Suara yang pemiliknya sedang kucari-cari keberadaannya. Ya. Tak salah lagi, itu adalah suara pengamen muda itu! batinku. Tapi mengapa suaranya terdengar begitu dekat? Tanyaku pada diriku sendiri.
            Aku mengedarkan pandangan ke sudut lain di  stasiun ini, ke sebuah sudut dekat dengan pintu mini market yang ada dalam Stasiun Bogor ini, dan aku pun melihatnya. Perlahan ia berjalan keluar dari dalam mini market, sambil memainkan gitar usangnya. Permainannya, seperti biasa, sangat memukau, sehingga keusangan gitarnya itu terasa kontras dengan nada-nada yang dihasilkan dari petikan jemarinya. Aku semakin terpukau.
            Aku semakin terpana kala menyadari ia berjalan semakin dekat, dan semakin dekat lagi ke arah tempatku duduk. Dan tak berapa lama kemudian, aku sudah melihatnya tepat di hadapanku. Ia memainkan gitarnya, kali ini sambil bernyanyi membawakan lagu milik grup musik kesayanganku, Maroon 5, yang berjudul “Sunday Morning”. Suaranya yang merdu itu membuatku beranggapan ia sudah cukup pantas masuk dapur rekaman saat ini juga.
Pengamen muda itu menyanyikan lagu favoritku, dengan menggati beberapa syairnya, agar lebih cocok dengan keadaan hari ini.
“…Saturday morning rain is falling, steal some covers, shares some skin, clouds are shrouding us in moments unforgettable, you twist to fill the mold that I am in…”
            Aku takjub mendengarnya bernyanyi, sekaligus heran, bagaimana ia tahu lagu favoritku? Tapi keherananku tak berakhir sampai di sini. Pada tengah-tengah lagu, ia berjalan ke arah tempatku duduk. Ya! Benar-benar ke arah tempatku duduk! Hatiku diliputi oleh rasa heran yang amat besar, dari beberapa orang yang duduk-duduk di sini, mengapa ia hanya menghampiri tempatku?
            Ia tersenyum padaku. Sangat manis. Aku tersenyum kaku dan tak tahu harus berbuat apa. Aku terlalu bingung menghadapi kejadian ini, dan tambah bingung lagi tatkala setelah selesai membawakan lagu itu, ia kemudian berkata “Ya, demikian lagu pertama yang Saya bawakan hari ini. Semoga dapat menghibur Anda semua di pagi ini…” 
“Terutama untuk Kamu, Yuke, terima kasih sudah bersedia menonton penampilan Saya setiap hari. Lagu ini khusus Saya bawakan untuk kamu.” Lanjutnya sambil melihat ke arahku dan tersenyum untuk yang kedua kalinya. Sekali lagi, aku pun dibuat kaku olehnya.
Segala pikiran berkecamuk dalam hatiku. Bagaimana ia tahu kalau aku tak pernah ketinggalan untuk menonton setiap penampilannya? Apa ia sering memerhatikan siapa saja orang-orang yang menontonnya? Tapi, aku biasanya menonton dari jarak jauh, lalu bagaimana ia bisa tahu? Dan bagaimana pula ia tahu namaku? Itulah pertanyaan terbesarku.
Baru saja aku akan mencoba memberanikan diri membuka mulutku untuk menanyakan rentetan pertanyaan dalam benakku itu, tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara serak petugas stasiun dari pengeras suara yang mengumumkan persiapan keberangkatan kereta pukul 06.30 WIB. Aku terbangun, mengucek-ucek mataku yang masih terasa berat. Baru aku sadar, aku tadi tertidur. Astaga, itu hanya mimpi! batinku.
Bisa-bisanya aku bermimpi di saat-saat seperti ini! kataku dalam hati. Tapi dalam hatiku ada rasa sesal juga saat menyadari kejadian itu hanya mimpi. Namun, aku buru-buru menghapus perasaan itu, lalu aku bangkit dari tempat dudukku, berjalan cepat ke arah kereta yang sudah siap sedia menunggu calon penumpangnya di rel jalur tiga. Sepertinya hampir semua orang yang tadi duduk-duduk menunggu kereta, sudah berada di dalamnya. Hanya aku yang agak terlambat karena tadi sempat tertidur saat menunggu.
Sesaat setelah tiba di depan pintu kereta, aku sempat terkejut ketika melihat pengamen muda yang ada dalam mimpiku tadi. Ternyata ia sudah ada dalam kereta itu. Pantas saja aku tidak sempat melihatnya mengamen di selasar stasiun tadi. Rupanya sekarang ia mulai beraksi di dalam kereta. Kulihat sekarang ia dan gitar setianya itu sudah siap menghibur penumpang sebelum kereta diberangkatkan. Tanpa banyak bicara ia mulai memetik senar gitarnya, memainkan intro yang rasanya sudah tidak asing lagi di telingaku, lalu mengalunlah nada-nada indah dari gitar usangnya, disambut dengan suara merdunya yang tadi terngiang dalam mimpiku,  “…Saturday morning rain is falling….”.